AllahummaSholli 'ala Sayyidina Muhammad wa'ala Alihi Washohbihi Ajma'in. wa nuuril abshoori wa dliyaa-iha, wa 'ala aalihi wa shahbihi wa sallim) Artinya: "Ya Allah, limpahkanlah rahmat atas baginda kami Nabi Muhammad SAW yang mencintai dan dicintai Allah, yang menghilangkan segala penyakit dan menghilangkan segala kesempitan Sholawatnabi yang paling terkenal yang kedua yang biasa diucapkan oleh kaum muslim di Indonesia adalah Allahumma Sholli 'ala Sayyidina Muhammad wa'ala Alihi Washohbihi Ajma'in yang jika dituliskan dalam tulisan arabic sebagai berikut: اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِهٖ وَصَحْبِهٖ اَجْمَعِيْنَ forany of believers, because that is what Allah swt is doing. If somebody thinks that 'alihi are believers (s)he can say "wa 'ala 'alihi", if somebody thinks that sahaba are believers they can say "wa 'ala sahbihi", or if somebody thinks that you're believer he can say "sall Allahu 'ala Faruqi" or on me "sall Allahu 'ala 'Ala'id-deeni". cash. USTADZ PATHURI AHZA MUMTHAZA ⁠⁠⁠Assalamu’alaikum wr wb… Alhamdulillah alladzi amarana bitthihadi wa nahana anittafarruqi wal fasaad asyhadu anla ilaah illah wa asyhadu anna muhammadar rasulallah… Allahumma shalli ala sayiidina Muhammad wa ala alihi wa shahbihi ajma’in amma ba’du Pada Yai Aziz, Para Ustadz, dan Jama’ah semua, mohon izin melanjutkan pembahasan pengajian online Rabu pagi… Untuk itu mohon perkenannya untuk membaca surat Al-Fatihah… Smoga semua aktifitas hari ini dimudahkan dan dilancarkan bagi kita semu Al-faatihah… Bismillahirrahmanirrahim… berkaitan dengan ADAB MEMPERLAKUKAN AL-QUR’AN , Mudah-mudahan dengan referensi yang mu’tamad dan penjelasan para ulama menjadi jelas bagaimana sesungguhnya Adab memperlakukan Al-Qur’an. Pertama, berkaitan dengan riwayat yang mengatakan, “Betapa banyak pembaca AlQur’an, sedangkan Al-Qur’an Al-Qur’an melaknat pembacanya, memang cukup banyak disebut dan dikutip oleh beberapa buku dan kitab. Namun, jika ditelusuri, kitab utama yang menjadi rujukan adalah Ihya ulumiddin, karya Imam Al-Ghazali. Bisa dilihat di dalam Ihya Ulumiddin, juz 1, h. 275, riwayat ini disebutkan pertama kali, menjadi dalil pembuka pada fasal Fi Dzammi Tilaawatil Ghafiliin, Fasal tentang Celaan bagi Bacaan Al-Qur’an Orang-orang yang Lalai. Kalimat lengkapnya adalah رب تال للقرآن والقرآن يلعنه Di dalam rujukan lain menggunakan redaksi رب قارئ للقرآن والقرآن يلعنه Atau كم من قارئ للقرآن والقرآن يلعنه Di mana ketiganya mengandung makna yang sama, yaitu Betapa banyak pembaca Al-Qur’an, sedangkan Al-Qur’an melaknatnya. Dalam kitab Ittihafus Saadatil Muttaqin karya Az-Zabidi, Syarah Ihya Ulumiddin, juz 4, h. 468, bahwa pengertian hadist ini dijelaskan lebih luas oleh ulama dengan dasar-dasar hadist lain yang memperkuatnya. Di antaranya sebagian ulama menegaskan bahwa Al-Gharibu atau Sesuatu yang asing adalah Al-Qur’an yang ada diperutnya pendosa, sebab meski ia hapal Al-Qur’an tetapi ia tidak mengamalkan isinya. Hal ini senada dg hadist riwayat Abu Hurairah bahwa ada 4 hal yang menjadi asing, di antaranya Al-Qur’an yang berada di perut orang fasiq riwayat Ad-Dailami. Dalam hadist lain disebutkan, “Bacalah Al-Qur’an, di mana ia sanggup mencegah kalian dari perbuatan maksiat. Apabila ia tidak mencegah kalian dari perbuatan keji dan munkar, sungguh kalian belum dianggap telah membacanya HR Ath-Thabrani dari Abdullah bin Umar, Ihya Ulumiddin, juz 1, h. 275. Masih ada beberapa hadist yang menjelaskan hal ini dengan nada yang sama, di mana dikatakan bahwa meski orang tekun rajin membaca dan mempelajari Al-Qur’an, tetapi ia tidak mengamalkannnya, maka sesungguhnya ia belum membacanya dan dianggap berpaling dari sisi Allah SWT. Sebelum menjelaskan orang-orang yang lalai terhadap Al-Qur’an, meskipun membaca dan mempelajarinya, Al-Ghazali menyontohkan bagaimana sahabat belajar kepada Rasulallah tentang Al-Qur’an. Yaitu suatu ketika Khalid bin Uqbah menghadap Rasulallah sambil berkata, Wahai Rasulallah, tolong bacakan padaku Al-Qur’an… Lalu Rasulullah membacakan ayat ke 90 surat An-Nahl, “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian berbuat adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemunkaran, serta permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kalian agar kalian dapat mengambil pelajaran.” Mendengar ini, Khalid berkata kepada Rasulallah, Ulangilah, wahai Rasulallah.” Kemudian Rasulallah mengulanginya lagi sambil menegaskan, “Sesungguhnya di dalam ayat ini Al-Qur’an, tersedia kelembutan bagi pembacanya, derajat yang tinggi bagi yang memuliakannya, sedangkan pada bagian bawahnya menghujam ke dasar bumi sanubari, dan pada bagian atasnya menghasilkan buah yang luar biasa. Dan semua ini bukanlah perkataan manusia. hadist ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam kitab Asy-Syu’ab dari Ibnu Abbas dengan sanad yang jayyid atau bagus. Berkaitan dengan Al-Qur’an yang seharusnya mampu mencegah dari perbuatan yang keji, munkar, dan permusuhan, di samping membawa pembacanya untuk berbuat adil, gemar menebar kebajikan, dan senang berbagi dengan orang lain, satu hadist yang hampir semua kitab tentang Keutamaan Al-Qur’an menyebut, yaitu hadist yang berbunyi خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ Berkaitan dengan Al-Qur’an yang seharusnya mampu mencegah dari perbuatan yang keji, munkar, dan permusuhan, di samping membawa pembacanya untuk berbuat adil, gemar menebar kebajikan, dan senang berbagi dengan orang lain, satu hadist yang hampir semua kitab tentang Keutamaan Al-Qur’an menyebut, yaitu hadist yang berbunyi خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ Artinya Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannnya. Ihya Ulumiddin, juz 1, h. 274, Fadhailul Qur’an, h. 49 Hadist ini riwayat Al-Jama’ah Artinya yang meriwayatkan 7 ahli hadist utama, yaitu Ahmad bin Hanbal, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tarmidzi, An-Nasa’I, dan Ibnu Majah., namun dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam hadist ini semua meriwayatkan kecuali Imam Muslim. Adapun maksud dari hadist ini dikatakan bahwa ini adalah sifat seorang mu’min yang mengikuti jejak para rasul, di mana ia sempurna dalam akhlak pribadinya dan sempurna dalam akhlak terhadap orang lain. Di mana ini adalah bentuk kesatuan antara memberi manfaat kepada diri dan juga orang lain. Maksudnya sifat pribadi seorang mukmin baik dalam diri An-naf’ul qashir, selalu dihiasi kebajikan dan kebaikan, selalu memberi manfaat kepada orang lain. Tidak menebarkan kerusakan dan kemadharatan kepada sesama An-Naf’ul Muta’addi Ibnu Katsir, Fadhailul Qur’an, h. 49 Inilah ciri PEMBACA AL-QUR’AN yang tidak mendapat LAKNAT DARI AL-QUR’AN, sebaliknya, Al-Qur’an memancarkan AKHLAK MULIA-nya di dunia dan menjadi PENOLONG SYAFI’ nanti di akhirat dan menjaganya dari api neraka Ihya, juz 1, h. 273. Karena itulah, dalam hadist lain disebut, “Membaca Al-Qur’an adalah ibadah terbaik bagi umatku.” Karena ia tak sekedar membaca, tapi diamalkan. Jadi, pengertian belajar dan mengajarkan Al-Qur’an di sini tidak sekedar menuntut membacanya, dari tajwidnya, dari cara membaca Al-Qur’an yang benar. Tetapi mengajarkan Al-Qur’an tidak hanya di mulut, tetapi dimaknai lebih luas lagi dengan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-sehari, di mana orang lain belajar, meniru, dan mengikuti perilaku mulianya. Demikian pula seorang murid atau santri, belajar Al-Qur’an bukan sekedar lihai dalam membaca, tetapi ia berusaha belajar untuk mempraktekkannya dalam setiap gerak langkahnya, menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama. Tidak sombong, ujub, merasa paling benar, rendah hati, berbagi kebajikan dan kebaikan, berbagi kelebihan harta, menjauhkan pada kerusakan dan kemadharatan. Intinya darinya terpancar akhlak mulia, itulah sebaik-baik kalian yang belajar dan mengajarkan Al-Qur’an. Karena ketika membaca Al-Qur’an, yang dibaca membekas dalam hati, tidak lewat begitu saja Ihya, juz 1, 286. Demikian semoga bermanfaat. Wallahu A’lam Bish Showaab. Alhamdulillah wa Sholatu wa Salamu ala Rosulillah wa ala Alihi wa Ashabihi Ajma’in. Amma ba’du,Begitu banyak diantara kaum muslimin yang belum mengerti apa itu iman yang benar. Di antara mereka ada juga yang berpaham Allahu a’lam karena kekurangtahuan dan pemahaman yang telah ditanamkan sejak sekolah dasar bahwa iman itu adalah kayakinan hati semata. Untuk itulah kami memandang penting untuk mengetengahkan pembahasan dalam masalah Kepada Al Qur’an dan As Sunnah dengan Pemahaman Salaful UmmahDefinisi Iman Menurut Ulama Kaum Muslimin Ahlus Sunnah wal Jama’ahDiantara Dalil Ulama’ Kaum Muslimin dalam Permasalahan ImanKembalikan Kepada Al Qur’an dan As Sunnah dengan Pemahaman Salaful UmmahMerupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk mengembalikan seluruh permasalahan agama yang dihadapinya kepada Al Qur’an dan As Sunnah sesuai pemahaman salaful ummah yang lebih dahulu dalam ilmu, iman dan Subhana wa Ta’ala berfirman,فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah Al Quran dan Rasul Sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”. [ QS. An Nisa’ 4 59]Maka marilah kita jadikan hal ini sebagai pegangan pertama dalam masalah yang akan kita bahas di Iman Menurut Ulama Kaum Muslimin Ahlus Sunnah wal Jama’ahقال الحاكم في مناقب الشافعي حدثنا أبو العباس الأصم أخبرنا الربيع قال سمعت الشافعي يقول الإيمان قول وعمل يزيد وينقصAl Hakim menyebutkan di dalam Manaqib Asy Syafi’i, “Abul Abbas Al Ashom Muhammad bin Ya’kub bin Yusuf seorang ahli hadits wafat 346 H telah mengabarkan kepada kami, dia mengatakan, “Sesungguhnya Ar Robi’ berkata, “Aku mendengar imam Asy Syafi’i 150-204 H mengatakan, “Iman adalah perkataan dan amal, dapat bertambah dan berkurang”[1].Al Lalikai Rohimahullah Wafat 418 H mengatakan,قال الشافعي رحمه الله في كتاب الأم في باب النية في الصلاة نحتج بأن لا تجزئ صلاة إلا بنية ؛ لحديث عمر بن الخطاب عن النبي صلى الله عليه وسلم – إنما الأعمال بالنية » ثم قال وكان الإجماع من الصحابة والتابعين من بعدهم ممن أدركناهم أن الإيمان قول وعمل ونية ، لا يجزئ واحد من الثلاثة بالآخرImam Asy Syafi’i Rohimahullah mengatakan dalam kitab Al Um Bab Niat dalam Sholat, “Kami berpendapat bahwa tidaklah sah sholat kecuali di dahului niat berdasarkan hadits Umar bin Al Khoththob Rodhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam, “Sesungguhnya setiap amal bersama dengan niatnya”. Kemudian beliau mengatakan, “Merupakan sebuah ijma’/sepakat para sahabat dan tabi’in yaitu orang-orang setelah mereka yang bertemu dengan mereka bahwa iman adalah perkataan, amal/perbuatan dan niat, tidaklah salah satu dari ketiga hal tersebut tanpa yang lainnya”[2].Beliau juga meriwayatkan dari Al Imam Al Bukhori 194-256 H Rohimahullah dengan sanadnya, bahwa Al Imam Al Bukhori Rohimahullah mengatakan,لقيت أكثر من ألف رجل من أهل العلم أهل الحجاز ومكة والمدينة والكوفة والبصرة ……… أن الدين قول وعمل“Aku bertemu lebih dari seribu ahli ilmu/ulama dari Hijaj, Mekah, Madinah, Kufah, Bashroh ……. dan lain-lain yang banyak sekali bahwa mereka semua mengatakan “Sesunggunya agama/iman adalah perkataan dan amal/perbuatan”[3].Ibnu Abdil Barr Rohimahullah 368-463 H mengatakan, “Abul Qosim Ubaidillah bin Umar Al Baghdadi Asy Syafi’i menyebutkan, “Muhammad bin Ali telah mengabarkan kepada kami, dia mengatakan, “Sesungguhnya Ar Robi’ pernah mendengar Asy Syafi’i mengatakan, “Iman adalah perkataan, amal/perbuatan dan keyakinan hati. Tidakkah engkau pernah melihat firman Allah Azza wa Jalla وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ“Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu”. QS. Al Baqoroh [2] 143Yang dimaksud iman dalam ayat ini adalah sholat kalian ketika masih menghadap ke Baitul Maqdis. Maka Allah menyebut sholat dalam ayat ini dengan sebutan iman yaitu terdiri dari perkataan, amal/perbuatan dan keyakinan hati”[4].Abu Ubaid Al Qosim bin Abdis Salam 157-224 H Rohimahullah mengatakan, “”فالأمر الذي عليه السنة عندنا ما نص عليه علماؤنا مما اقتصصنا في كتابنا هذا أن الإيمان بالنية والقول والعمل جميعا ، وأنه درجات بعضها فوق بعضPerkara yang sesuai dengan Sunnah bagi kami dan yang ditegaskan oleh ulama kami yang kami cantumkan dalam kitab kami ini, bahwa sesungguhnya iman adalah niat, perkataan dan amal/perbuatan seluruhnya. Masing-masing diantaranya ada yang derajatnya lebih tinggi dari yang lainnya”[5].Al Imam Muhammad bin Al Husain Al Ajurri Rohimahullah Wafat 360 H mengatan,اعلموا رحمنا الله وإياكم أن الذي عليه علماء المسلمين أن الإيمان واجب على جميع الخلق ، وهو تصديق بالقلب ، وإقرار باللسان ، وعمل بالجوارح ،ثم اعلموا أنه لا تجزئ المعرفة بالقلب والتصديق إلا أن يكون معه الإيمان باللسان نطقا ، ولا تجزيء معرفة بالقلب ، ونطق باللسان ، حتى يكون عمل بالجوارح ،فإذا كملت فيه هذه الثلاث الخصال كان مؤمنا دل على ذلك القرآن ، والسنة ، وقول علماء المسلمين“Ketahuilah semoga Allah merahmati kami dan anda sekalian, sesungguhnya sebuah perkara yang dipegangi oleh ulama kaum muslimin bahwa iman yang wajib bagi setiap manusia kaum muslimin adalah pembenaran dengan hati, ikrar dengan lisan dan amal/perbuatan anggota ketahuilah sesungguhnya tidak lah sah/teranggap pengetahuan/pengakuan dan pembenaran seseorang dengan hatinya melainkan harus desertai dengan ikrar dengan lisan. Tidaklah sah/teranggap pengetahuan/pengakuan seseorang dengan hatinya dan ikrar dengan lisan melainkan harus disertai dengan amal/perbuatan anggota jika lengkap ketiga hal ini maka orang tadi menjadi orang yang beriman, hal ini ditunjukkan dalilnya dalam Al Qur’an, Sunnah/hadits dan perkataan/pendapat ulam kaum muslimin”[6].Al Baghowi wafat 516 H Rohimahullah mengatakan,اتفقت الصحابة والتابعون ، فمن بعدهم من علماء السنة على أن الأعمال من الإيمان ، لقولهسبحانه وتعالى إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ“Para Sahabat, Tabi’in dan orang-orang setelah mereka dari kalangan ulama sunnah sepakat bahwa sesungguhnya amal/perbuatan adalah bagian dari iman berdasarkan firman Allah Subhana wa Ta’ala, yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang berimanialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka”. QS. Al Anfal [8] 2Mereka mengatakan,إن الإيمان قول وعمل وعقيدة ، يزيد بالطاعة ، وينقص بالمعصية“Sesungguhnya iman adalah perkataan, amal dan aqidah/keyakinan hati. Bertambah dengan keta’atan dan berkurang dengan kemaksiatan”[7].Abu Utsman Isma’il bin Abdur Rohman Ash Shobuni Asy Syafi’i Rohimahullah 373-449 H mengatakan,“Diantara keyakinan Mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah yaitu iman adalah perkataan, amal perbuatan dan pengetahuan/pengakuan dengan hati. Bertambah dengan keta’atan dan berkurang dengan kemaksiatan”[8].Beliau kemudian menyampaikan banyak sekali riwayat dari imam-imam kaum muslimin diantaranya Imam Malik, Hisyam bin Hasan, Ibnu Juraij Sufyan Ats Tsauri, Al Mustanna bin Shibah, Fudhail bin Iyadh, Sufyan bin Uyaynah semuanya mengatakan bahwa iman adalah perkataan hati dan lisan dan amal/perbuatan[9].Sehingga kami kira cukup menyampaikan kalam ulama dalam masalah ini, walaupun kalau diteruskan akan banyak sekali ulama yang berpendapat Dalil Ulama’ Kaum Muslimin dalam Permasalahan ImanMaka kita akan beralih kepada dalil-dalil permasalahan ini baik dari Al Qur’an dan As Allah Azza wa Jalla وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ“Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu”. QS. Al Baqoroh [2] 143Yang dimaksud iman dalam ayat ini adalah sholat kalian[10] ketika masih menghadap ke Baitul Maqdis. Maka Allah menyebut sholat dalam ayat ini dengan sebutan iman yaitu terdiri dari perkataan, amal/perbuatan dan keyakinan hati. Sisi pendalilannya adalah Allah maksudkan sholat dengan sebutan iman. Sebuah hal yang kita ketahui bersama bahwa dalam sholat itu ada keyakinan hati niat, perkataan dzikir-dzikir yang ada dalam gerakan sholat dan bacaan Al Qur’an dan perbuatan gerakan-gerakan sholat[11].Adapun dalil dari Hadits Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam maka akan banyak sekali kita temui. Namun untuk memperjelas kami sampaikan dalil yang menunjukkan satu persatu bagian dari iman agar mempermudahnya.[1]. Dalil yang menunjukkan bahwa perkataan lisan merupakan bagian dari Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam kepada utusan bani Abdul Qois,آمَرَكُمْ بِأَرْبَعٍ وَ أَنْهَاكُمْ عَنْ أَرْبَعٍ آمَرَكُمْ بِالْإِيْمَانِ بِاللهِ وَحْدَهُ أَتَدْرُوْنَ مَا الْإِيْمَانُ بِاللهِ وَحْدَهُ ؟ قَالُوْا اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ قَالَ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ …….“Aku Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam memerintahkan 4 hal dan melarang 4 hal. Aku memerintahkan kalian agar beriman kepada Allah semata. Tahukah kalian apa itu beriman kepada Allah semata ?” Mereka menjawab, “Allah dan RosulNya yang lebih tahu”. Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam menjawab, “Syahadat Laa Ilaaha Illallah dan Muhammad Rosulullah ……”[12].Kita ketahui bersama bahwa syahadat adalah perkataan lisan, dan Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam menjadikannya bagian dari iman.[2]. Dalil yang menunjukkan bahwa amal/perbuatan merupakan bagian dari imanHadits Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam ketika ditanya oleh seorang dari negeri Syam,أَيُّ الْإِيمَانِ أَفْضَلُ قَالَ الْهِجْرَةُ\خُلُقٌ حَسَنٌ“Apakah iman yang paling utama?” Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam menjawab, “Hijroh dalam riwayat lain akhlak yang mulia”[13].Kita ketahui bersama bahwa hijroh/akhlak mulia adalah amal/perbuatan anggota badan dan Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam menjadikannya bagian dari iman bahkan iman yang paling utama.[3]. Dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan/keyakinan/pembenaran hati merupakan bagian dari imanالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ“Malu merupakan cabang dari iman”[14].Hadits Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam,لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ“Tidak beriman salah seorang diantara kalian hingga dia mencintai aku Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam lebih dicintainya dari pada anak, orang tua dan manusia seluruhnya”[15].Kita ketahui bersama bahwa malu dan cinta merupakan perbuatan/keyakinan hati dan Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam menjadikan itu bagian dari penutup kami sampaikan dalil yang menunjukkan 3 hal tadi merupakan bagian dari iman dalam sebuah hadits Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam,مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ“Barangsiapa diantara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaklah dia ubah dengan tangannya/kekuasaannya, apabila dia tidak mampu maka dengan lisannya dan apabila tidak mempu maka dengan hatinya. Yang demikian itu selemah-lemah iman”[16].Mudah-mudahan bermanfaat bagi kami sebagai tambahan amal dan pembaca sebagai tambahan ilmu dan Isya’, 22 Jumadil Akhir 1433 H/ 14 Mei 2012 MAditya Budiman bin Usman-Semoga Allah menjauhkan kami dari api neraka-Penulis Aditya BudimanArtikel Lihat Fathul Bari hal. 47/I terbitan Darul Ma’rifah Beirut, Lebanon.[2] Lihat Syarh Ushul I’tiqod Ahlu Sunnah wal Jama’ah oleh Al Lalikai hal. 267/V terbitan Dar Thoyyibah, Riyadh, KSA[3] Idem hal. 317/I.[4] Lihat Al Intiqo’ hal. 81 dan Manaqib Asy Syafi’i oleh Ar Rozi hal. 131 Manhaj Al Imam Asy Syafi’i oleh DR. Muhammad bin Abdul Wahab Al Aqil hal. 163 terbitan Adwa’us Salaf, Riyadh, KSA.[5] Lihat Kitab Al Iman Oleh Abu Ubaid Al Qosim bin Abdus Salam dengan tahqiq Al Albani hal. 34 terbitan Maktabah Ma’arif, Riyadh, KSA.[6] Lihat Asy Syar’iyah oleh Al Ajurri dengan tahqiq Muhammad Hamid Al Faqi hal. 227/I terbitan Anshorus Sunnah Al Muhammadiyah, Kairo, Mesir.[7] Lihat Syarhu Sunnah oleh Husain bin Mas’ud Al Baghowi dengan tahqiq Syu’aib Al Arnauth hal. 38-39/I terbitan Al Maktab Al Islami, Beirut, Lebanon.[8] Lihat Aqidah As Salaf wa Ashabu Al Hadits oleh Ash Shobuni dengan tahqiq DR. Nashir bin Abdur Rohman bin Muhammad Al Judai’ hal. 264 terbitan Darul Ashimah, Riyadh, KSA.[9] Idem hal. 266-270[10] Sebagaimana dalam HR. Bukhori no. 4486 dan Muslim no. 252[11] Penjelasan senada dijelaskan Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin dalam Syarh Aqidah Wasithiyah hal. 447 terbitan Dar Ibnu Jauzi, Riyadh, KSA.[12] HR. Bukhori no. 53 dan Muslim no. 17 dari jalur Abdullah bin Abbas Rodhiyallahu anhuma[13] HR. Ahmad no. 19435 dinilai shohih lighoirihi oleh Syu’aib Al Arnauth dan dinilai shohih oleh Al Albani dalam Ash Shohihah hal. 551[14] HR. Bukhori no. 9 dan Muslim 35[15] HR. Bukhori no. 14 dan Muslim 44[16] HR. Muslim no. 186 Pertanyaan Bolehkah mengqadha shalat sunnah rawatib jika sudah keluar waktunya? Jawaban Alhamdulillahi Rabbil alamin, ashallallahu ala Nabiyyina Muhammadin wa ala alihi wa shahbihi ajma’in. Shalat sunnah rawatib adalah shalat sunnah yang mengiringi shalat fardhu, baik dikerjakan sebelum shalat fardhu atau sesudahnya. Sebagaimana dalam hadits dari Ummu Habibah radhiyallahu ’anha, bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda مَن صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً في يَومٍ وَلَيْلَةٍ، بُنِيَ له بِهِنَّ بَيْتٌ في الجَنَّةِ قالَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ فَما تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُهُنَّ مِن رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ “Barangsiapa yang mengerjakan shalat sunnah 12 rakaat dalam sehari semalam, akan dibangunkan baginya rumah di Surga”. Maka Ummu Habibah pun tidak pernah meninggalkannya sejak mendengar hadits tersebut HR. Muslim Dalam riwayat At-Tirmidzi disebutkan rinciannya أربعًا قبلَ الظهرِ، وركعتيْنِ بعدَها وركعتيْنِ بعدَ المغربِ ، وركعتيْنِ بعدَ العشاءِ ، وركعتيْنِ قبلَ الفجرِ “Empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Maghrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum Subuh” HR. At-Tirmidzi no. 415, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi. Namun jika seseorang tidak mengerjakan shalat sunnah rawatib pada waktunya, bolehkah ia mengqadhanya di luar waktunya? Ada perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini. Ulama Syafi’iyah dan ulama Hanabilah mengatakan bahwa disyariatkan untuk mengqadha shalat sunnah rawatib di luar waktunya. Semisalnya mengqadha shalat ba’diyah Zuhur di waktu Ashar, atau shalat ba’diyah Maghrib di waktu Isya. Berdasarkan keumuman hadits مَن نسِيَ صلاةً، أو نامَ عنها، فكفَّارتُها أن يُصلِّيها إذا ذكَرَها “Siapa yang terlupa mengerjakan shalat atau ketiduran, maka kafaratnya adalah ia kerjakan ketika ia ingat” HR. Bukhari Muslim dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu anhu. Hadits ini berlaku umum baik untuk shalat fardhu maupun shalat sunnah. Demikian juga hadits dari Abu Qatadah radhiyallahu anhu استيقظَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم والشمسُ في ظهره … ثم أذَّن بلالٌ بالصلاة، فصلَّى رسولُ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ركعتين، ثم صلَّى الغداةَ، فصنَع كما كان يَصنَعُ كلَّ يومٍ “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bangun dalam keadaan matahari sudah di atas panggung Beliau … kemudian Bilal pun mengumandangkan adzan, dan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pun shalat sunnah dua rakaat kemudian baru mengerjakan shalat subuh. Beliau mengerjakannya sebagaimana beliau mengerjakan sehari-hari” HR. Al-Bukhari Muslim no. 681. Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengerjakan shalat qabliyah subuh padahal sudah keluar dari waktu subuh. Dalam hadits Abu Hurairah من لم يُصَلِّ ركعتيْ الفجرِ فليُصلِّهما بعد ما تطلعُ الشمسُ “Siapa yang belum melakukan 2 rakaat shalat sunnah fajar, maka hendaknya dikerjakan setelah matahari terbit” HR. At-Tirmidzi dishahikan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi. Demikian juga dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu’anha, ketika beliau melihat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengerjakan shalat dua rakaat setelah Ashar. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda يا بِنتَ أبي أُميَّة، سألتِ عن الركعتينِ بعدَ العصرِ، إنَّه أتاني أناسٌ مِن عبدِ القيسِ بالإسلامِ من قومِهم، فشَغَلوني عن الركعتينِ اللَّتينِ بعدَ الظهرِ، فهُما هاتانِ “Wahai Bintu Abi Umayyah Ummu Salamah ! Engkau bertanya kepadaku tentang mengapa aku shalat dua rakaat setelah Ashar? Sesungguhnya telah datang kepadaku beberapa orang dari Bani Abdul Qais untuk masuk Islam. Mereka telah menyibukkan aku sehingga aku tidak sempat mengerjakan shalat dua rakaat setelah Zuhur. Itulah dua rakaat yang aku kerjakan” HR. Al-Bukhari no. 4370, Muslim no. 843. Adapun ulama Malikiyah dan Hanafiyah mereka mengatakan bahwa tidak disyariatkan untuk mengqadha shalat sunnah rawatib di luar waktunya. Dan tuntutan untuk mengerjakan shalat sunnah rawatib telah gugur jika telah keluar waktunya. Kecuali shalat qabliyah subuh dan ba’diyah Zuhur yang terdapat dalilnya. Ini juga pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Wallahu a’lam, pendapat pertama lebih kuat pendalilannya. Imam An-Nawawi mengatakan ذكرنا أن الصحيح عندنا استحباب قضاء النوافل الراتبة وبه قال محمد والمزني وأحمد في رواية “Telah kami jelaskan bahwa pendapat yang shahih menurut kami adalah dianjurkannya mengqadha shalat sunnah rawatib. Dan ini pendapat yang dipilih oleh Muhammad, Al-Muzanni, dan salah satu pendapat Ahmad”. Al-Majmu’, 4/43. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Namun hendaknya seseorang tidak bersengaja menunda shalat sunnah rawatib kemudian mengqadhanya di luar waktunya. Ini dilakukan jika ada kesibukan, terlupa, tertidur atau udzur yang lainnya. Bolehkah mengqadha shalat rawatib di waktu terlarang? Madzhab Hambali melarang untuk mengqadha shalat sunnah rawatib di waktu terlarang. Berdasarkan keumuman hadits larangan shalat di waktu terlarang. Sedangkan ulama Syafi’iyah, salah satu pendapat imam Ahmad dan juga yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah bolehnya mengqadha shalat sunnah rawatib di waktu terlarang. Sebagaimana dalam hadits Ummu Salamah tentang Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengqadha shalat ba’diyah Zuhur di waktu setelah Ashar, padahal ini waktu terlarang shalat. Demikian juga dalam hadits dari Aisyah radhiyallahu’anha, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda لا تَتحَرَّوا طلوعَ الشَّمسِ ولا غُروبَها فتُصلُّوا عندَ ذلك “Janganlah kalian bersengaja shalat ketika matahari sedang terbit atau ketika matahari sedang tenggelam” HR. Muslim Hadits ini menunjukkan bahwa yang terlarang adalah jika seseorang bersengaja memilih shalat di waktu terlarang. Adapun orang yang melakukannya karena suatu sebab atau udzur, maka tidak termasuk dalam larangan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan الرواية الثانية جوازُ جميع ذوات الأسباب، وهي اختيار أبي الخطاب، وهذا مذهب الشافعي وهو الراجح في هذا الباب لوجوه “Pendapat yang Kedua Dibolehkannya semua shalat yang dilakukan karena suatu sebab untuk dikerjakan di waktu terlarang. Ini adalah pendapat Abul Khattab, pendapat madzhab Syafi’i, dan merupakan pendapat yang rajih dalam masalah ini, karena beberapa alasan” Majmu’ Al-Fatawa, 23/191. Kesimpulannya, boleh bagi seseorang yang terlewat shalat sunnah rawatib karena ada kesibukan atau terlupa atau ketiduran untuk mengqadhanya walaupun di luar waktunya dan walaupun di waktu larangan shalat. Wallahu a’ Rabbil alamin, wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammadin wa ala alihi wa shahbihi ajma’in. *** Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, Anda bisa membaca artikel ini melalui aplikasi Tanya Ustadz untuk Android. Download Sekarang !! Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR. REKENING DONASI BANK SYARIAH YAYASAN YUFID NETWORK Kode BSI 451 🔍 Konsultasi Syariah Com, Sami'allahu Liman Hamidah Artinya, Doa Penghilang Rasa Takut, Hadits Tentang Menyebarkan Berita, Nur Buah, Dalil Tentang Mandi Wajib, Kuping Berdenging Kiri KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO CARA SHOLAT, ATAU HUBUNGI +62813 26 3333 28

wa ala alihi wa shahbihi ajma in